Jumat, 29 April 2011

Kita

Aku dibuat termenung oleh “kita”. Kesulitan mencari perumpamaan tentang apa itu “kita”? Apa itu yang kumaksud aku dan kau; cuma! Karena segala yang “kita”, mengendap dalam kalbu saja, membuncah pikiran, dan hanya gerangan hati yang tahu bagaimana rupanya “kita”.

Sajak-sajakku kurang berlebihan pikirku. Itu tidak cukup memperlihatkan jalan yang sudah dan akan kita tapak; yang buruk tidak buruk nian, elok terlalu elok! Sedang sajakku yang buruk ialah terlalu buruk dan yang elok tidak elok nian. Dan begitu pun bunga-bunga yang kurangkai dan kupajang di sudut bingkai. Juga bulan yang tidak sering ia bertengger di sudut lain bersama sekawanan bintangnya. Atau pula matahari yang saban waktu menahta di tengah-tengah dunianya. Ah, dan bumiku kekurangan kata-kata, kekurangan inspiransinya. Ataukah itu justru batasnya? Yang melingkupi pikiran penyair, pembuket kata demi kata, kalimat demi kalimat. Kerap mengunci otakku!

Baiklah! Kucoba tuliskan apa itu “kita”; dan otakku akan berputar lahan-perlahan.

Sejak awal persuaan, kusebut akhir pencarian belahan nafas. Belahan yang ketika ku bermuka denganmu maka aku sedang bercermin. Kutujukan adalah pikiranku. Ketika ia pergi ke utara, karena anginmu menuntunnya ke utara. Ketika berhalu ke selatan, karena tanganmu melambai memanggil dari selatan. Dan sewaktu diam tidak berkutik, karena melihatmu terbujur kaku di sampingku. Di samping pikiranku dan jiwaku!

Semenjak kapan aku tahu tentang belahan nafas? Kapan kita tahu tentang belahan jiwa? Yang berdampingan senantiasa ke mana kaki pergi dan berlari. Dan tangan kita bergandengan melekat ketika melangkah dan menyebrangi sungai yang arusnya deras bukan kepalang! Sungguh pun, bayanganmu dan bayanganku berpelukan di latar cahaya matahari dan bulan.

Ya sejak kapan aku kamu? Setelah kita sama-sama meminum racun dan madu dalam satu piala. Setelah kita bersemangat dan kelelahan dalam tiap tajuk hari yang berganti-ganti selayaknya musim. Setelah kita acap berdebat memperbedakan kesamaan, bergelut memihak emosi kita; lalu luntur dimakan ulat-ulat daun, kemudian jatuh tidak bernyawa.

Dan sang waktu mendewasakan, segala yang “kita” dilahirkan olehnya dengan saksama. Apa lagi yang tak kuceritakan kepadamu? Yang waktu beri setiap detik aku bernafas. Dan apa yang tak ku tahu tentang kamu? Meski sedikit menutup mulut, aku tahu apa yang sedang berdiam diri, aku tahu apa yang sedang berdiam diri dalam ruang benakmu. Wajahmu itu berbisik lembut ketika engkau terpekur oleh jelita sunyi. Ketika engkau membungkam bibir itu. Maka seluk belukmu memang aku sudah kenal dekat. Seperti engkau sekiranya demikian padaku.


Dan tahukah kamu, Sobat? Kapal yang kita layari akan terus mengombak di atas laut-laut. Terus mengikuti haluan angin yang meniup; kadang lembut, kadang ia mahadahsyat. Tapi lengan kita terlalu kokoh membiarkan kapalku dan kapalmu tumbang begitu saja oleh taifun, ditelan samudera. Dan kita syukuri segala puji ketika angin menghembus sepoi memberi nikmat kepada kapal kita, membawanya menyinggahi dunia baru. Senuah dunia yang sengaja mempersembahkan kisah-kisah yang akan lama berkutat dalam ingatan kita.

Tentang langit biru beserta ratusan burung layang-layang berkepakan mengalun musik, dan kita berdansa menari-nari. Hei! Ada sepasang malaikat ikut berdansa bersama kita, lalu mereka naik ke langit menjaga kapal kita.

Tentang murkanya awan, mengepul gelap. Serentetan hujan menghunjam di atas kapal kita! Dan sejauh bumi dan langit kita kendali kemudi kapal. Tunjukkan pada badai itu! Mereka kalah! Sebab kapal kita teamat kokoh dan tegar. Ketika aku menggigil beku, dan kau ada menghangatkanku. Apa yang perlu kukhawatirkan lagi?

Tentang pelangi yang meraja sehabis hujan turun. Akan ada bidadari mengajak kita naik ke langit. Hingga malam melayang di sana. Diperkenalkannya kita kepada bintang-bintang bergemerlapan. Kita sudah menunjuk satu bintang, kan? Lihat saja kepada barat, ada bayangan kita masih bermain di kejora itu. Dan ketika matahari terbangun, kita pun terbangun di atas kasur. Tidak, kita tidak sedang bermimpi. Tapi salah satu bidadari berbaik hati mengantar kita kembali ke bumi sewaktu ketiduran di bulan penuh; kelelahan terlalu lama bermain dengan bintang-bintang.

Dan masih banyak lagi serangkaian dunia yang sedang menunggu kita datang ke dermaganya.

Suatu hari di dahulu waktu. Aku terkulai jatuh dihempas sejuta makian. Di mana bunga-bunga rekahku? Kucsri-cari wanginya telah hilang pula. Tamannya telah poranda, bumi sudah menelannya dalam-dalam! Dan kau datang beri aku pot bunga putih yang mahawangi, kau siram pula saban fajar dan senja. Tahukah kau? Sekarang bunganya merambat ke seluruh ruangku yang dulu gersang dan mati. Ia nampak seperti taman surga dengan wangi kesturinya yang bernafas setiap detik. Relungku sudah kembali harum, Sobat!

Apa yang patut kusembahkan sekiranya pamrihku padamu? Tapi tangan ini tetap menjangkau ketika engkau jatuh suatu kali nanti (dan sungguh kuharap engkau tetap berlenggang dalam damai). Dan akan kubagikan berapapun tangkai bunga yang kau minta. Biar kutebar wanginya di seluruh rumahmu. Sebab kita dalam kapanpun berjalan di satu panggung. Dan ketika satu rasa menjamahku, ia mengetuk jendelamu. Pun ketika ia tertidur di benakmu, mimpinya melayang ke kamarku. Kita satu rasa!

Katakan padaku! Apa yang belum melengkapi tentang kita? Apa yang belum mewakili kata “kita”? sebutkan! Apapun itu, bahasakan pada angin, nanti ia sampaikan segera padaku. Ucapkan pada bulan, setiap malam ia mengingatkanku. Teriakkan pada ombak, agar kapalku bisa mendengarnya. Ku tahu makna kita sedalam hatimu yang tersembunyi, seluas harapanmu, sebanyak arak-arakan awan di langit biru, sekuasa matahari dengan teriknya, seanggun bulan bersama dayang-dayangnya; sang ribuan bintang, setenang langit malam... sejuta ikhwal di segenap bumi!

Kutahu...

Segala yang kita mengendap dalam kalbu saja. Dan hanya gerangan hati yang tahu bagaimana rupanya kita...

Bandung, Januari 2003

(prosa bikinan temen buat aq dulu, tapi... setelah kejadian lalu mungkin prosa ini dah ga layak bgt buat aq ya... aq emg bukan temen yg baik. Tapi selama miss communication kemaren, aq selalu berdoa yg terbaik buat temenku dan sering bgt keingetan prosa ini. taunya dia nulis di wall fb tapi aq telat bgt bacanya ya... kata2nya bikin melayang...ga pantes bgt klo bikin buat aq mah. Hhh... pgn kembali ke masa lalu deh, kenapa pas hari bahagia kita saling ga ada satu sama lain?! nyesel bgt!!! Tapi dgr2 katanya kata2 puitisnya dah tumpul ya? mungkin karena ga deket ma aq lagi kali, jadi ga ada inspirasi.... hehehehehe.........)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar