Kamis, 12 April 2012

Menitipkan Anak: Asisten Rumah Tangga, Daycare atau Nenek/Kakek?

oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 3 Maret 2012 pukul 11:00 ·


Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | Instruktur Pelatihan Orangtua di 60 kota, 18 propinsi di Nusantara | www.auladi.org |inspirasipspa@yahoo.com

Ada banyak orangtua yang melahirkan anak tapi tidak mendidik anaknya. Maaf klo mungkin dianggap "sadis", tapi jika hanya sekadar memberikan makan atau menjaga kesehatannya, bukankah hewan juga bisa melakukannya?

Jauh sebelum saya memilih salah satu pilihan seperti judul di atas, saya ingin mengajak Anda untuk memberikan jawaban pada diri sendiri tentang pertanyaan klasik: untuk tujuan apa sepasang orangtua (suami istri) bekerja? Mengapa tidak cukup ayah saja?

Tentu ada banyak jawaban bukan? Tapi saya ingin mengemukakan 4 diantaranya, yang mungkin menjadi jawaban paling sering diajukan para orangtua ketika diberikan pertanyaan semacam tadi: pertama, Untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mungkin tak bisa dipenuhi jika hanya suami yang bekerja. Kedua, untuk aktualisasi diri dan kemandirian seorang perempuan, misalnya untuk menebar kebaikan dan kemanfaatan sebanyak-banyaknya di muka bumi. Ketiga, Agar tidak terlalu bergantung kepada suami sehingga juga dapat turut membantu (mungkin) keluarga dari sang perempuan (adik, kakak, orangtua, dan lain-lain) dan keempat, selain jawaban tersebut, yang saya sering dengar dari puluhan ribu orangtua yang pernah berinteraksi dengan saya dalam kelas-kelas orangtua adalah: demi kepentingan anak-anaknya sendiri agar kebutuhan anaknya terpenuhi.

Saya tidak ingin membahas soal perempuan bekerja dari alasan yang pertama hingga ketiga. Tapi saya ingin membahas yang keempat. .

Sebenarnya saya tidak dalam posisi mendukung atau menentang seorang perempuan boleh atau tidak boleh bekerja. Itu urusan Anda. Saya hanya ingin mendukung siapapun bisa jadi orangtua terbaik untuk anaknya, apakah Anda ibu bekerja atau "full time mom". Please jangan salah menilai tulisan ini sehingga kemudian anda yang merasa ibu bekerja merasa dihakimi. Tidak, tidak itu maksud saya. Justru saya membuat tulisan ini hasil curhat dari ibu-ibu bekerja dan ini saya persembahkan untuk mereka akan mereka kemudian dapat memberikan peran lebih besar untuk anak-anaknya. Jika bukan untuk ibu bekerja, lah ngapain pake ngomong segala soal "menitip anak"? Seperti curhat salah seorang mom berikut ini:

“Saat ini situasi saya adalah saya dan suami mempunyai rumah di Bekasi. Kami berdua kerja dan tidak ada yang mengawasi putri kami (usia 2 tahun), sehingga mengatasi hal ini kami melakukan cara yaitu pagi pagi buta putri kami (walau sedang tertidur) kami "angkut" lalu melakukan perjalanan Bekasi - Jakarta untuk mendrop anak kami di rumah mertua saya yang berada di Jakarta. Begitu pun malamnya, di malam gelap kami melakukan perjalanan kembali Bekasi - Jakarta bersepeda motor dengan membawa anak kami pulang, kami lakukan hal ini setiap hari.

Saat ini hanya mertua saja yang bisa kami harapkan untuk mengasuh, selain mertua tidak bekerja (ibu mertua juga Ibu RT dari dulu), dan orang tua saya (hanya ibu saja) masih bekerja untuk membiayai adik saya di luar kota. kami tidak bisa tinggal di rumah mertua, karena di rumah mertua pun sudah terdapat 2 keluarga saudara suami saya (ponakan saya juga sekalian diasuh oleh mertua saya, sehingga tidak hanya putri kami saja yang diasuh, masih ada 2 cucu lain), dan situasi ekonomi yang tidak bisa mengambil kontrakan dekat rumah mertua.

Dari cerita situasi saya tersebut, sudah terbaca bahwa mungkin situasi itu menimbulkan "ketidaknyamanan" pada anak saya terutama untuk kesehatan karena putri kami juga masih terhitung "masih kecil" tuk terus menerus perjalanan "luar kota" pagi buta dan malam gelap setiap hari dengan bersepeda motor pula. Namun, hal tersebut mnjadi agak "perbedaan" antara saya dan suami saya. suami saya menyimpulkan anak saya sdh besar dan "mampu" untuk beradaptasi atas situasi tersebut.”

Kebetulan, saya mendapatkan info di dekat komplek saya ada Daycare yang nuansa islami pula. Saya terpikir untuk menjadikan Daycare ini "pengganti solusi" dari permasalahan tersebut. Namun, saya masih membutuhkan pandangan dari pihak ketiga yang sesuai dapat membantu memberikan saya pilihan yang terbaik.”

Saya faham kadang karena alasan tertentu seorang ibu harus bekerja dan tidak bisa mendampingi anak sepenuhnya, saya pun tidak bisa menentangnya. Tetapi sebelum memberikan tanggapan pertanyaan semacam ini saya tetap harus mengatakan yang ideal dari segi kaca mata tumbuh kembang anak adalah seorang ibu saat anak dalam fase usia dini mendampingi anak-anaknya. Karena tentu akan berbeda sentuhan orangtua sendiri, darah daging sendiri, dengan sentuhan orang lain dari segi ikatan emosional. Stimulasi kognitif dan psikomotorik mungkin bisa didapat dari siapapun, tapi stimulasi emosi orangtua akan berbeda dengan stimulasi nenek, guru, daycare, apatah lagi pembantu. Karen ini tulisan opini, maka ideal di sini pastilah ideal dari versi saya. Karena itu bisa jadi sangat subyektif. Anda boleh menciptakan versi ideal Anda sendiri.

Ya, memang, meski dengan orangtua pun tak menjadi jaminan bahwa seorang anak akan pasti sehat, akan pasti cerdas dan sukses di masa depan sebagaimana belum tentu juga ibu yang bekerja anaknya pasti tidak akan menjadi anak baik, atau tidak akan menjadi anak shalih dan shalihah. Semuanya memiliki kesempatan sama: menjadi ayah dan ibu terbaik untuk anak-anaknya. Ayah dan ibu shalih dan shalihah.

Maka, orangtua yang punya perspektif luas tidak akan pernah mengatakan “anak saya dititip dengan pembantu, tapi buktinya anak saya baik, anak saya tidak nakal, anak saya sehat dan anak saya tidak melakukan perilaku buruk apapun.” Pernyataan yang seolah-olah logis ini adalah seperti mirip orang yang memberi pernyataan “saya didik dengan kekerasan oleh orangtua saya, tapi buktinya saya jadi orang sukses, buktinya saya jadi PNS, teman-teman saya yang  tidak pernah dipukul orangtuanya, buktinya tidak jadi apa-apa” atau yang lain yang lebih mirip “anak saya tidak diberikan ASI, hanya susu formula, buktinya anak baik-baik saja, sehat dan cerdas!”

Sebab yang menyebabkan kondisi-kondisi seperti itu tidaklah tunggal. Tidak hanya karena gizi semata, atau tidak hanya karena stimulasi semata. Model pola asuh anak sangat menentukan pula, bagaimana karakter anak dibentuk. Bagaimana perilaku dan perlakuan orangtua pada anak. Jika ibu tidak bekerja, jadi ibu rumah tangga, dengan judul “full time mom” demi anak, tapi saat ada di dekat anak tidak menghasil apapun, hanya, lagi-lagi mendampingi anak: ngantar jemput anak ke sekolah, ngaji anak “outsourcing” ke ustadz dan ustadzah, tidak menemani anaknya bermain, tidak menstimulasi anaknya, tidak menyediakan waktu membacakan buku dan cerita, ini juga sama saja, bisa disebut ibu yang melahirkan anak tapi tidak mendidik anaknya.

Tapi lepas dari mendukung atau tidak soal ibu bekerja, saya punya kewajiban untuk tetap memberikan pernyataan berikut ini:

Meski anak sekolah dan berinteraksi dengan lingkungan, dalam 18 tahun pertamanya sesungguhnya anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya sekira 85% hampir di lingkungan keluarga (orangtua, nenek/kakek, pembantu, atau siapapun yang menghabiskan waktu lebih banyak dalam pengasuhan anak). Maka, karakter anak tentunya akan lebih banyak dibentuk di lingkungan keluarga. Jika keluarga tidak mengintervensi, tidak membentuk, tidak menginstall pikiran anak dengan nilai dan karakter-karakter positif, maka yakinlah akan ada pihak lain yang melakukannya. Pihak lain itu dapat berbentuk teman sebayanya, lingkungan pergaulan anak atau pun media seperti televisi.

Jaman dulu, lepas dari ekspos media, kenakalan remaja tidaklah sedahsyat sekarang. Di negara-negara Barat saja, ya para tugas para ayahlah yang mencari nafkah. Ibu ngurus anak, membesarkan anak, mendampingi dan mendidik anak. Sesekali mereka bekerja di ladang, membantu suami. Jadi anak pun masih terurus. Setelah anak besar mereka mencari pekerjaan atau bekerja untuk membantu kehidupan keluarga. Tapi ini berubah setelah era revolusi industri yang bermulai di daratan Inggris terjadi. Para perempuan mulai turut bekerja ke luar rumah, maka tatanan berkeluarga pun ikut berubah.

Di negeri kita, jaman dulu, anak-anak lebih keurus,  sore-sore anak-anak masih bisa ngumpul dengan keluarga di depan halaman rumah, sementara televisi, hanya TVRI doang, insya Allah itu pun acara bermanfaat. Jaman dulu, no internet, no kabel tv, no satelit tv. So, jaman dulu, anak kita dibiarkan begitu saja “diliarkan” masih terasa aman. Dari ujung kampung ke kampung yang lain bakal tahu itu anaknya siapa.

Semakin bertambah usia bumi, jaman semakin maju, teknologi semakin berkembang, dunia seolah tanpa batas, tersebar tv kabel, internet, tv satelit. Lihatlah tayangan HBO, maaf, ciuman tanpa sensor atau perempuan setengah telanjang muncul tanpa sensor di negeri ini!

Lalu karena fasilitas hidup meningkat, gaya hidup pun meningkat, kebutuhan meningkat, menyebabkan seolah tidak cukup hanya seorang laki-laki bekerja. Akibatnya para perempuan keluar rumah bekerja. Tidak di Barat, tidak di Timur, tidak negeri kita. Maka anak-anak pun dititip-titipkan, dititip di pembantu, dititip di babysitter. Maaf, seperti anak-anak yatim piatu yang orangtuanya lengkap bukan?

Masih “mending” dititip di daycare atau nenek dan kakeknya. Sebagian anak ada yang dititip dan menghabiskan lebih banyak hidupnya dengan pembantu, perawat atau nanny. Ketika yang diberikan kepercayaan mendampingi anak ini perilakunya tidak positif, akibatnya sebagian anak ini menghabiskan waktunya lebih banyak di depan monitor televisi atau komputer. Main game, internet dan tayangan tv. Jika seorang anak lebih banyak menghabiskan waktu di dekat televisi, game atau internet daripada di dekat orangtuanya , maka siapa yang akan lebih banyak memengaruhi anak? Media itu atau orangtua?

Kita semua sudah tahu jawabannya bukan? Akibatnya? Di sinilah mulai hancur peradaban. Kita boleh lihat data dan survei manapun di negara barat tentang bagaimana perilaku mengkhawatirkan anak dan remaja di jaman modernisasi ini. Anak-anak yang melakukan seks bebas, kecanduan obat-obatan, incest, perilaku seks menyimpang, kekerasan anak (bullying).

Anak-anak “yatim piatu” yang orangtua lengkap dan kehausan “emosi” ini kemudian diatasi dengan cara: kampanye kondom, kampanye reproduksi sehat, kampanye antinarkoba, kampanye antibullying!

Bukan, bukan, bukan itu tidak bermanfaat. Itu bermanfaat. Tapi solusi ini seperti efek obat pada penyakit, yang hanya menyembuhkan gejala bukan penyebabnya! Menyembuhkan demam dengan parasetamol tapi bukan pada pengelolaan sistem kekebalan tubuh anak yang menyebabkan demam.

Kebutuhan emosi anak hanya bisa dipenuhi oleh perbuatan emosional pula! Dari orangtua sendiri. Bukan dipenuhi dengan mainan, jajanan, makanan, handphone dan benda-benda materi. Karena itu bukan kampanye antinarkoba, bukan kampanye reproduksi sehat, bukan antibullying, tapi kampanyekan para orangtua untuk kembali NGURUS keluarganya! Ngurus bukan sekadar memberi makan dan perlindungan tubuh semata tapi juga emosi, jiwa atau mentalnya. Jika para orangtua ngurus keluarganya, semua kampanye tadi: antinarkoba, kesehatan reproduksi atau apapun, bukankah seharusnya juga bisa dilakukan oleh orangtua?

Ketika bicara soal ngurus keluarganya, saya tidak bicara hanya tugas ibu. Ayah juga. Kewajiban ayah bukan hanya mencari nafkah tapi juga mendidik anaknya. Jika seorang ibu adalah madrasah untuk anak, maka ayah adalah kepala sekolahnya. Lihat kitab suci agama, ketika bicara anak, maka yang dibicarakan ayah, bukan ibu. Meski secara teknis mungkin sebagian anak menghabiskan waktu dengan ibunya karena ayah bekerja, tetap saja ayah seharusnya punya “konsep” bagaimana anaknya dibesarkan dan dididik. Apakah ketika seorang ayah sudah mencari nafkah, menggugurkan kewajiban ayah yang lain yaitu mendidik anak? Apakah ketika kita sudah sholat gugur kewajiban kita yang lain, misalnya membayar zakat dan shaum Ramadhan?

Karena itulah, mungkin itu pula yang menyebabkan sebagian besar perempuan di Jepang, dulu, akan berhenti bekerja (sementara) ketika melahirkan anak sampai anak-anak ini masuk usia sekolah. Lalu mereka akan bekerja kembali setelah anak sekolah, itu dengan sebuah sistem yang disebut dengan “arubaito” semacam sistem kerja freelance atau paruh waktu. Ya setidaknya dari kunjungan dan perhatian “sebentar” saya di Tokyo, Osaka dan Nagoya. Entahlah dengan perubahan modernisasi sekarang. Apakah kebiasaan perempuan Jepang ini masih berlaku atau tidak.

Karena itu pula saya setuju jika pada usia 7 tahun ke bawah seperti yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, “jadikan anak seperti raja”, dididampingi, dimuliakan, diberikan perhatian penuh. Saya juga setuju jika ada orangtua mengatakan “saya tidak akan pernah menitipkan anak pada siapapun, karena tidak ada yang lebih baik dari orangtua sendiri”.

Saya pun termasuk yang tidak ridlo, anak saya bisa membaca Qur’an, bisa membaca huruf latin pertama kali dari orang lain. Dimana dong peran dan ladang amal saya sebagai orangtua kalau semuanya “outsourcing”? Stimulasi kognitif outsourcing ke sekolah, stimulasi motorik outsourcing ke guru TK, belajar ngaji outsourcing ke ustadz dan ustadzah.

Tapi, saya tidak bisa memaksa semua orangtua seperti saya dan punya pikiran seperti saya bukan? Saya juga tidak bisa menyamaratakan keadaan dan latar belakang semua orang bukan?

Karena itu  meski idealnya seorang ibu mendampingi lebih banyak anaknya pada usia tertentu, terutama fase “golde age”, kadang dengan berbagai latar belakang, keadaan tidak selalu ideal yang kita inginkan bukan?

Pertanyaannya, jika karena keadaan tertentu membuat seorang ibu harus bekerja, lalu siapakah yang akan mendampingi anak tumbuh besar? Tiga kemungkinan besar biasanya adalah:

  1. Menitipkan anak pada asisten rumah tangga (pembantu) di rumah, atau “outsourcing” dengan tetangga sebelah yang mau dititipkan
  2. Menitipkan pada kerabat: nenek/kakek, tante, saudara, adik atau kakak yang tidak bekerja
  3. Menitipkan pada orang atau lembaga profesional: seperti daycare atau tenaga pendidik profesional yang khusus disewa untuk menstimulasi anak

Yang jelas saya tidak akan pernah merekomendasikan yang nomor 1. Sebab lagi-lagi tugas mereka hanya “menjaga” bukan mendidik. Tugas mereka hanya memastikan anak aman dari bahaya dan makannya terpenuhi tapi belum tentu mentimulasi anak-anak ini. Masih lebih baik jika anak dibiarkan bermain untuk menstimulasi kecerdasannya, tapi bagaimana jika si pengasuh ini overprotectif? Sayang sekali jika anak yang dijaga pihak no 1 ini kerjaannya hanya diberi makan, ditidurkan, disimpan di depan televisi.

Bagaimana dengan pilihan menitipkan anak pada kerabat? Terutama yang sering terjadi adalah pada nenek/kakek anak-anak kita?

Pilihan menitipkan anak pada nenek dan kakek insya Allah menjadi baik tapi dengan berbagai syarat:
  1. Nenek/kakek termasuk orang yang bisa diajak kompromi soal pendidikan anak, mudah diajak berdiskusi soal pendidikan anak, memiliki pengetahuan luas soal pendidikan anak sehingga memiliki batasan-batasan yang jelas (tidak overprotectif, tidak terlalu mengekang juga tidak terlalu memanjakan).
  2. Pengawasan dan pendampingan pada anak kecil yang membutuhkan energi lumayan tidak sampai mengganggu kesehatan nenek/kakek.
  3. Untuk ukuran orang yang sudah sepuh, nenek dan kakek seharusnya bisa didampingi asisten (perawat, asisten rumah tangga) untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan nonstimulasi atau yang membutuhkan energi banyak: mengganti popok, mencuci popok, memberi makan, jika tidak umumnya mereka bakal kewalahan (nenek/kake + pengasuh).
  4. Keinginan dari nenek/kakek yang memang sangat senang dengan anak-anak dan sangat menikmat kebersamaan dengan cucu-cucunya (mereka sendiri yang ikhlas atau menginginkannya setelah diajak bicara).

Karena itu, jangan sampai pilihan menitipkan anak pada nenek dan kakek itu menyebabkan kemungkinan yang jika diungkapkan dalam bahasa negatif “dulu mereka membesarkan kita dengan susah payah, masak di usia sekarang masih juga dikerjain oleh kita anaknya, untuk ngurus cucu-cucunya”.

Jika salah satu syarat tadi tidak dipenuhi, apalagi nomor empat, saya sama sekali tidak merekomendasikan untuk menitipkan anak pada nenek/kakek dan mungkin saya lebih setuju jika pilihan menitipkan anak pada daycare atau pembantu. Meski tetap harus dipilih dan dipilah agar jangan sembarangan daycare dipercaya untuk menitipkan anak.

Meski bukan yang ideal seperti orangtua, daycare bisa jadi pilihan baik lain selain nenek/kakeknya karena dengan beberapa alasan yang sering disebutkan:

  1. Pengawasan dan pengasuhan oleh profesional (psikolog, perawat, dll) yang memahami tumbuh kembang anak
  2. Makanan terjamin, karena dengan tenaga profesional tadi sudah terstruktur pula pemenuhan nutrisi anak selama berada di lingkungan daycare
  3. Anak mendapatkan stimulasi atau rangsangan tumbuh kembang (kognitif, emosi dan psikomotorik)
  4. Anak belajar bersosialisasi dan kemandirian (seperti toilet training yang konsisten, bermain dengan teman yang sering, dan lain-lain)
  5. Minimum kontaminasi media televisi
  6. Stimulasi nilai-nilai positif: agama, karakter dll.(story telling, eksplorasi bermain, games, dll)

Beberapa hambatan orangtua untuk menitipkan daycare atau sering disebut kendala, yang sering disebutkan orangtua antara lain:

1. Masalah kekhawatiran soal kesehatan, misalnya khawatir anak mudah tertular penyakit karena setiap hari berinteraksi dengan anak yang lain
2. Masalah ketidaknyamanan dan kekhawatiran karena anak dititip dengan bukan keluarga sendiri
3. Masalah finansial. Menitipkan anak di daycare membutuhkan pengeluaran lebih dan ini akan menguras keuangan, tidak hemat, baik untuk tranpsort antar jemput maupun biaya daycare itu sendiri

Alasan yang pertama, sebenarnya alasan yang tidak beralasan. Maksud saya bakteri dan kuman itu bisa jadi ada di manapun. Ada pada tanah, ada pada pohon, ada di meja, kursi, ada pada tempat cuci piring.

Ini persis seperti orangtua yang khawatir anaknya sakit jika hujan-hujanan. Apakah air hujan itu yang menyebabkan anak sakit? Tanya dokter manapun, bukan hujan yang menyebabkan anak sakit tapi masalah kekebalan tubuh anak yang tengah lemah dan kebetulan hujan-hujanan itulah yang menyebabkan anak sakit. Jika hujan dapat menyebabkan sakit, pastilah semua orang yang kena hujan akan sakit! Tapi apakah semua orang yang kena hujan pasti sakit? Tidak bukan?

Kecuali benar-benar anak-anak lain itu memiliki penyakit menular yang berbahaya dan potensial untuk ditularkan, yang lainnya seharusnya tidak menjadi kekhawatiran, sebab jika anak kekebalan tubuhnya memang kuat, tidak mudah dia terserang penyakit bukan? Lagi pula tenaga profesional yang tadi disebutkan tidak mungkin tidak mengantisipasi soal hal ini.

Alasan kedua soal ketidaknyamanan adalah hal yang tak juga perlu dikhawatirkan. Sebab siapapun pada awalnya anak akan mengalami apa yang disebut “separation anxiety” kecemasan berpisah dengan orangtuanya. Tapi seiring dengan berjalan waktu, ketidaknyamanan anak ini sebenarnya yakinlah akan hilang. Persis seperti anak yang ditinggalkan bekerja pertama kali oleh orangtua yang nangis dan mungkin histeris. Tapi jika orangtua konsisten, nangis dan teriak anak ini tidaklah berlangsung seterusnya. Silahkan baca tulisan saya yang lain tentang “separation anxiety” ini.

Alasan ketiga soal hambatan finansial, ini yang serius. Jika ayah dan ibu bekerja memang demi anak-anak, lalu mengapakah lagi kita masih berpikiran soal hemat? Uang yang dihasilkan itu kan untuk anak juga, jadi wajar pula jika uang yang dihasilkan itu salah sebagiannya diinvestasikan untuk anak. Meski tetap  harus dikelola porsinya.

Terdengar klise memang, tapi ini benar dan fakta di lapangan di sekitar kita, tidak sedikit menunjukkan kebenaran itu. Banyak orangtua demi masa depan anak-anaknya, agar anaknya sukses, mereka bekerja keras membanting tulang, mengorbankan waktu, sehingga sampai tak punya waktu untuk anak-anaknya, menelantarkan anak-anaknya. Tapi yang terjadi setelah masa depan itu datang, setelah orangtua ini renta, anak ini memang sukses, tapi banyak anak ini ternyata menelantarkan orangtuanya.

Maka saya sering berkata untuk para orangtua yang sepasang bekerja (ayah dan ibu), please deh, investasikan sebagian uang Anda juga untuk tumbuh kembang anak dengan serius. Gaji punya, tapi anak hanya difasilitasi pembantu. Jika Anda bekerja ya jangan hanya pembantu, jika tidak menitip di day care, kalau perlu rekrut orang tenaga pendidik, lulusan paud, lulusan PGTK dll untuk menstimulasi anak di rumah dengan gaji profesional. Seperti berlebihan, tapi tanya pada diri kita sendiri, apakah uang yang kita dapatkan dari hasil kerja kita hanya bekerja untuk kepuasan kita sendiri, untuk keluarrga, kedua-duanya atau untuk apa lagi? **

Mengatasi Intervensi Nenek Kakek dalam Pengasuhan

oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 20 Desember 2011 pukul 7:28 ·
 

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Pendiri Pelatihan Orangtua PSPA | Direktur Auladi Parenting School
Email. inspirasipspa@yahoo.com | www.auladi.org

Pernahkah Anda mengalami kejadian saat Anda melarang nonton televisi, lalu kakeknya membolehkan nonton televisi? Saat Anda sudah berusaha untuk tidak pernah mencubit anak, lalu neneknya melakukannya? Saat Anda berkata tidak, nenek kakeknya bilang ya?

Seperti curhat seorang ayah di Surabaya berikut ini pada saya “Abah, bagaimana memaksimalisasi mendidik anak sementara kakek neneknya sering mengacaukan keteguhan kita saat sedang tetap berkata tidak pada anak? Sebaiknya kami lakukan agar anak tidak ke kiri dan ke kanan semaunya?”

Sebenarnya keberadaan nenek dan kakek dalam kehidupan anak kita sangat berguna untuk hidup anak kita sendiri. Namun,ya inilah tantangannya, saat ada perbedaan antara kita, sebagai orangtua dengan nenek dan kakek dalam pengasuhan anak. Yang positif dari nenek dan kakeknya saya yakin sangat banyak, tapi ini bukan fokus pembicaraan tulisan ini. Yang ingin saya bahas tentang bagaimana jika terjadi perbedaan atau intervensi berlebihan nenek dan kakek dalam pengsuhan anak?

Ketika Anda berumah tangga, sering terjadi masalah karena banyak keluarga muda yang masih tinggal bersama satu atap dengan orangtua. Istilah rumah mertua indah menjadi populer terhadap pasangan yang terpaksa memilih jalan ini. Maka akan ada banyak kebijakan yang mungkin akan diterima anak kita. Ketidakkonsistenan yang diterima anak akhirnya dapat menyebabkan anak bingung dan tidak mempercaya kebenaran itu sendiri. Nilai mana yang akan dia pegang? Orangtuanya atau nenek dan kakeknya? Mana yang benar? Tentu saja ini sangat tidak baik untuk perkembangan mental anak. Ayah bilang tidak, lalu nenek dan kakeknya bilang ya.  Perbedaan suami istri mungkin dapat lebih mudah diatasi, tapi tidak selalu mudah jika berhadapan dengna orangtua Anda sendiri.

Apalagi, jika tipe orangtua kita (nenek dan kakek dari anak-anak kita) termasuk tipe yang tidak mudah diajak komunikasi karena dalam hidup mereka hanya berlaku dua pasal: pasal pertama orangtua tidak pernah salah. Pasal kedua, jika salah lihat pasal pertama (lho?). Maka ini akan lebih sulit lagi.

Maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan bagi Anda yang keluarga muda atau hendak memulai berumah tangga. Pertama, jika Anda berumah tangga, maka Anda harus sudah siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk konsekuensi bahwa jika Anda seorang perempuan, maka Anda sudah siap dengan tempat tinggal yang 'semampu' suami yang mungkin bisa jadi tidak selalu sama nyaman dengan yang pernah Anda dapatkan saat Anda masih single bersama orangtua. Jika Anda laki-laki, kewajiban Anda sebagai seorang laki-laki, seperti tercantum dalam perintah agama, sebagai suami dan ayah dari anak-anak Anda adalah menyediakan tempat tinggal layak keluarga Anda.

Tempat tinggal layak standarnya tentu relatif, tetapi tidak selalu ketika berumah tangga yang dimaksud layak itu harus kemudian langsung memiliki rumah baru. Anda  bisa melakukannya dengan cara ngontrak, menyewa rumah dan lain-lain. Ada sebagian keluarga muda dengan alasan hemat kemudian bertahun-tahun masih menempel rumah orangtua atau mertuanya. Boleh tak setuju, bagi saya laki-laki yang merasa keenakan di rumah mertua adalah laki-laki yang tidak punya ‘izzah’, tidak menjagai harga diri dan kemuliaan sebagai seorang ayah dan suami. Kasarnya, lebih baik ngontrak di kamar 1x1 (ada gitu?) yang sempit tapi kemudian memiliki kelapangan dalam membuat kebijakan keluarga daripada numpang di rumah orangtua (apalagi mertua) yang lapang, hemat, tapi Anda tidak memiliki kesempatan dan kemerdekaan dalam membuat kebijakan rumah tangga.

Ketika Anda sudah berumah tangga dan lalu kemudian kita memutuskan berpisah, maka, bukan hanya soal independensitas dalam mendidik anak, dalam banyak hal anda akan dipaksa untuk belajar lebih mandiri, belajar untuk mengambil keputusan bersama dengan istri atau suami tanpa intervensi berlebihan dari orangtua atau mertua Anda.

Kedua, jika kemudian masih bersama orangtua alasannya adalah orangtua tidak ada yang menjaga dan memelihara karena sudah renta, maka idealnya adalah orangtua sebaiknya tinggal bersama kita. Tinggal bersama kita berbeda paradigmanya jika kita tinggal bersama mereka. Orangtua yang tinggal bersama kita artinya orangtua yang tinggal di rumah kita, diundang tinggal di rumah kita bukan kita yang ‘numpang’ di rumah orangtua kita. Turunan dari ini kemudian adalah bahwa peraturan yang berlaku untuk anak-anak kita adalah peraturan keluarga kita sendiri bukan peraturan nenek dan kakek dari anak-anak kita. Kewenangan-kewenangan ada di rumah kita.

Tapi apapun, apakah mereka tinggal di rumah kita atau kita tinggal di rumah orangtua kita, memuliakan orangtua kita juga adalah kewajiban. Menjaga orangtua dan merawat orangtua kita adalah ladang amal kebaikan yang jangan disia-siakan. Sebab pasti mereka akan berpisah dengan kita dan kita tidak akan selamanya hidup mereka. Jangan sampai kita  menyesal setelah ditinggal mereka karena kita tidak merawat mereka.

Ketiga, lepas dari apakah orangtua kita tinggal di rumah kita atau kita yang tinggal di rumah orangtua atau mertua kita. Maka komunikasi terbuka dari hati ke hati dengan orangtua adalah kewajiban yang tetap perlu dilakukan sebagai 'muqoddimah' kita meminta izin mereka untuk dapat membuat kebijakan untuk anak-anak kita yang mungkin berbeda dengan kebijakan orangtua kita memperlakukan kita saat kita kecil dulu.

Komunikasilah dengan orangtua Anda dari hati ke hati, bahwa soal anak kita, minta agar mereka memberi kesempatan pada kita untuk memperlakukan anak-anak kita sesuai dengan 'jalan' kita sendiri. Kita tetap akan menghormati mereka, tetapi soal anak ini, keputusan ada di tangah orangtuanya, bukan pada kakek neneknya..

“Ayah Ibu,
sekarang kami sudah memiliki keluarga sendiri.
Kami (suami istri) tengah belajar berumah tangga Ayah Ibu...
Ketika kami berumah tangga, bisa jadi kami akan memiliki aturan berbeda
dengan aturan yang Ayah Ibu terapkan dulu.

Bukan berarti kami lebih baik dari ayah dan ibu,
Tapi karena memang perbedaan waktu dan keinginan kami sendiri
yang bisa jadi membuat perbedaan itu
pasanganku bisa jadi dididik dengan cara berbeda
dengan keluarga Ayah Ibu dulu
karena itu kami harus menyatukan pandangan kami bersama

Beberapa hal mungkin akan berbeda
Tetapi yakinlah kebaikan-kebaikan yang Ayah Ibu tanamkan pada kami
Akan tetap tertanam dalam kehidupan kami
Ini hanya perbedaan metode dan cara
Memperlakukan anak-anak kami

Kami mohon,
Ayah Ibu dapat memahami ini
Karena itu, setiap ada kebijakan untuk anak-anak kami
Kami akan mengkomunikasannya pada Ayah dan Ibu
Tentang apa yang dibebaskan dan apa batasan-batasannya
Tetang apa yang diberbolehkan apa yang dilarang.”

Thats just a bit sample ok? Intinya adalah keterbukaan kita meminta izin pada orangtua untuk menerapkan “SOP-SOP” yang mungkin berbeda pada anak dengan apa yang orangtua kita lakukan dulu pada kita saat jadi anak.

Dan kenyataannya, hanya sedikit orangtua kita yang sulit diajak komunikasi. Kebanyakan nenek dan kakek dari anak-anak kita sebenarnya mau menerima jika mau terbuka dengan jujur meminta izin sama mereka tanpa harus mencerahami atau menggurui mereka berlebihan. Yakinlah hampir semua orangtua menyayangi anak dan cucunya, ini menjadi modal keyakinan kita untuk dapat meyakinkan orangtua kita memberi dukungan terhadap cucu-cucunya.

Sebagian besar nenek dan kakek akan menyayangi cucunya, hanya saja sebagian orangtua tidak mengkomunikasan pada nenek dan kakek dari anak-anak kita tersebut tentang apa saja batasan-batasannya secara detail. Orangtua melarang anaknya membeli jajanan manis berlebihan seperti permen, coklat sementara nenek dan kakeknya membolehkan. Orangtua melarang anaknya membeli jajanan tak sehat yang lewat di depan rumah, sementara nenek dan kakeknya membolehkan.

Nah jika ada SOP-SOP yang ingin nenek dan kakek dari anak-anak kita juga menerapkannya, komunikasikan secara jelas dan detail kepada mereka tentang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Jelakan argumen-argumennya, bahwa kita tidak melarang anak kita jajan atau membeli makanan tapi ada batasan-batasannya. Jelaskan bahwa nenek dan kakek boleh mengajak anak membeli mainan, tapi ada batasannya.

Keempat, sebagian kecil pada kenyataannya memang ada yang sulit diajak bicara karena merasa paling benar dengan alasan “Kamu tahu apa mendidik anak? Ayah ibu lebih tahu dari kamu. Kami ini sudah berpengalaman anak puluhan tahun. Kalian baru ikut kelas parenting beberapa kali saja, jangan kalian anggap kalian lebih tahu dari kami!” Haduh! Sudah tak bisa berkutik deh kalau nenek dan kakek dari anak-anak kita sudah ngomong kalimat semacam ini.

Tenang, solusi kuncinya adalah ada pada diri kita sendiri bukan orangtua Anda. BUAT ANAK LEBIH PERCAYA PADA DIRI KITA dibandingkan siapapun, bahkan pada nenek an kakeknya sekalipun, jika nenek dan kakeknya belum dapat diajak kerjasama untuk melakukan batasan-batasan ini.

Jika sudah dipercaya anak, meski kakek neneknya bilang tidak, maka anak akan selalu mengkonfirmasinya pada kita. Meski ada nenek kakeknya, klo anak lebih percaya sama orangtua, pasti dia akan lebih 'mendengar perkataan2 orangtua dibandingkan kakek neneknya, bukan begitu? :) Jika orangtua ke kanan pasti ke kanan, tapi klo kata orangtua ke kanan sementara kakeknya minta ke kiri, berarti anak masih belum percaya pada kita sebagai orangtuanya.

Ketika keempat anak saya ikut pulang mudik bersama orangtuanya ke rumah nenek dan kakeknya mereka akan tetap memegang teguh batasan-batasan yang sudah kita berikan, meski di rumah orang lain, meski di rumah nenek dan kakeknya yang sebenarnya juga bukan orang lain. Suatu saat neneknya berkata pada kami saat kami baru tiba stelah meninggalkan anak-anaknya di rumah nenek “De’e diwenehi mut-mutan kok, ora gelem? Jarene ‘kata Umi, itu nggak boleh?’ kok isoooo? Mergo piye?, dia (anak kami) kok ditawarin permen kok gak mau? Katanya, kata Umi, itu nggak boleh? Kok bisa? Memangnya kenapa?'

Jadi meski Neneknya nawar-nawarin yang dilarang oleh kita, karena anak-anak ini sudah percaya sama orangtuanya, ya mereka tidak akan melakukannya meski orangtua tidak ada disamping mereka sekalipun.

Pertanyaannya, bagaimana agar lebih dipercaya oleh anak kita agar anak kita lebih nurut sama kita dibandingkan sama siapapun?

Bangun kedekatan secara emosional dengan anak. Ada banyak orangtua yang dekat dan ketemu secara fisik dengan anak tapi tak menghasilkan apapun. Bagaimana membangun kedekatan secara emosional dg anak? Setiap hari sediakan waktu dong utk bicara dengan anak, bukan hanya bicara kepada anak. Setiap hari sediakan waktu untuk melakukan kegiatan positif dengan anak: main boneka bareng, main bola bareng, bercerita, mewarnai, ngacak-ngacak rumah bareng dan seterusnya.

Lalu jangan pernah berbohong pada anak dan ingkar janji satu kalipun pada anak sekalipun. Kata siapa berbohong dan inkar janji pada anak itu tidak dosa? Ulama mana yang memberi fatwa berbohong pada anak itu boleh? Meski mungkin Anda ngomong “Tapi kan tujuan bohongnya baik?”

Misalnya: anda bilang yuk besok beli kue, ternyata besoknya tidak beli kue. Maka itu termasuk inkar janji. Juga termasuk bohong saat Anda minta anak anda tidur dengan menakutinya “nanti klo tidak masuk rumah, di luar ada hantu!” Maka saat Anda tidak melakukannya anak tidak akan pernah mudah memercayai orangtua kembali. Demikian juga saat anak tidak menemukan hantu tersebut, maka orangtua tidak akan mudah dipercaya anak lagi.

Memang hampir semua agama mengenal yang namanya “white lie” tetapi tetap saja pasti konteksnay sangat terbatas tidak pada semua perbuatan dibolehkan bohong. Misalnya menyelematkan nyawa, menyambungkan yang berselisih adalah beberapa contoh diantaranya yang diperbolehkan. Tapi sekalig lagi ini konteksnya sangat terbatas dan tidak pada semua perbuatan. Ketika Anda berbohong pada anak, sejak saat itulah perkataan Anda tidak akan pernah dipercaya anak kembali dengan mudah. Ketika Anda bilang Tidak lalu anak nangis jadi ya sejak saat itulah anak juga tidak akan mudah percaya lagi dengan Anda.

Selanjutnya adalah bertindak konsisten. Sekali Anda menolak permintaan anak “tidak”, seterusnya harus tidak, meski anak menangis, meski anak guling2.. dll. Turunan dari konsisten berarti setiap batasan haruslah punya konsekuensinya. Misalnya tentang makanan yang boleh dan tidak boleh.

Masalahnya adalah saat anak di depan kita mungkin mudah untuk konsisten dan memberikan konsekuensi tapi saat di depan nenek dan kakeknya, konsekuensi dalam rangka konsisten itu kemudian susah diterapkan karena seringkali dibatalkan oleh nekek dan kakeknya anak-anak.

Untuk mengatasi ini caranya buat konsekuensi tertunda. Misalnya saat anak sudah bersepakat dengan kita ketika sakit gigi tidak boleh makan permen. Lalu di rumah nenek dan kakeknya makan permen, maka kita bisa bilang pada anak. “Kamu sudah melanggar batasan yang kita sudah buat, karena kamu sudah melanggar, kamu akan mendapatkan konsekuensi dari ayah ibu yang tertunda. Konsekuensi itu akan kamu dapatkan saat kamu nanti sudah kembali ke rumah”. Konsekuensi ini bisa berupa dicabut hak-haknya (nonton tv, uang saku, main ke luar rumah) untuk sementara waktu atau konsekuensi lain yang bermakna yang intinya membuat anak rugi.

Kelima, biasakan pula jika orangtua kita pun sering-sering diajak tholabul ilmi atau mencari ilmu, belajar bersama. Bisa mendatangi pengajian-pengajian terlebih dahulu sebagai awalan. Jika orangtua sudah sering diajak ke majlis ilmu bersama, maka setelah itu sesekali ajak mereka untuk mendatangi majlis parenting atau pengasuhan anak. Jika orangtua sudah mau diajak ikut ta’lim insya Allah mereka akan mudah mengikuti kelas parenting yang kita tawarkan kepada mereka. Dengan mengikuti kelas parenting seperti yang saya selenggarakan insya Allah ini sangat membantu dan membuka paradgima mereka lebih baik, meski katakanlah mereka pun sudah baik mendidik kita waktu sebelumnya.

Itu sebabnya bisa jadi kenapa banyak nenek dan kaken hadir dalam kelas-kelas pelatihan orangtua yang saya selenggarakan. Sebagian besar mereka begitu rendah hati untuk kemudian belajar dan menghadiri kelas saya anak kemarin sore ini. Saya selalu interest jika ada orangtua sepuh datang ke kelas pelatihan saya. Karena itu saya sering bertanya mengapa mereka begitu rendah hati untuk datang belajar. Apa jawaban sebagian mereka? "Kami menyayangi cucu kami, kami kan lebih banyak dengan cucu kami dibandingkan dengan orangtuanya. Kalau nenek kakeknya gak shalih, kan kasihan cucu kami". wehh... keren kan? **

Bagaimana Batasan Berpakaian dan Bermesraan di Depan Anak?

oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 12 Desember 2011 pukul 6:29 ·
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
www.auladi.org |@ inspirasipspa@yahoo.com 

 

Bagaimana sih batasan bermesraan di depan anak? Bolehkah ciuman di depan anak? Bagaimana kalau dengan peluk-pelukkan di depan anak untuk menunjukkan kemesraan atau kasih sayang antar orangtua agar menjadi contoh untuk anak? Pernahkah Anda kepergok anak sedangkan bermesraan? Bagaimana pula jika mandi bersama anak?

Pertanyaan sejenis sering diajukan kepada saya oleh sebagian orangtua. Termasuk seorang ibu bernama Soffy berikut yang saya anggap cukup mewakili dari sekian banyak pertanyaan semacam ini:

“Saya seorang ibu, 28 tahun, dari seorang anak perempuan, Abah, punten saya mau menanyakan sesuatu tentang pandangan anak saya (perempuan usia 6,8 thn kelas 1) mengenai beberapa hal berikut ini:

1. Bagaimana pemotretan anak ketika ayah dan ibunya selalu menunjukkan kemesraan di depannya atau di depan keluarga besar? Suami saya adalah orang yang tak canggung memeluk, mencium, atau selalu ingin berpelukan dimanapun dan sayapun menjadi terbiasa dengan perlakuan suami. Saya sih memberitahu anak saya kalau misalnya ada adegan di tv yg mempertontonkan hal demikian, saya selalu arahkan kepada putri saya bahwa hal itu boleh dilakukan ketika kita sudah menikah. Bagaimana pendapat abah? Mohon masukan untuk kami.

2. Apakah saya dan putri saya masih boleh mandi bersama? Karena kadang saya masi suka mandi bersama. Maaf ya abah, saya bertanya hal ini.

3. Maaf juga saya bertanya ini, bagaimana pemotretan anak perempuan jika saya setelah mandi suka bertelanjang sebelum memakai baju atau ketika menggunakan lotion? Kamar mandi saya berada di dalam kamar.

Penjelasan yg saya sampaikan pada putri saya adalah bahwa ibu melakukan hal tersebut karena ibu hanya melakukan ini di kamar sendiri dan pintu tertutup dan terkunci sehingga tidak ada orang lain yang melihat,,saya juga menyampaikan pada putri saya agar tidak melakukan hal tersebut jika tidak yakin kita berada ruangan yang 'aman untuk kita'. “

Ya, selama ini sih putri saya juga tidak pernah berani keluar kamar sebelum berpakaian lengkap. Tetapi, saya khawatir perilaku saya mengakibatkan hal negatif di kemudian hari, sehingga maaf sekali, abah saya ingin penjelasan dari abah secara jelas.  Maaf sekali lagi jika Abah kurang berkenan. Haturnuhun."

Untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya tidak akan menjawabnya satu persatu tapi akan menjawabnya menjadi lebih terperinci ke dalam beberapa poin prinsip-prinsip adab tentang pergaulan dalam Islam mengenai ini agar lebih mudah difahami secara komprehensif. Anda boleh mencari kesimpulan sendiri tentang hal ini. Jadi tidak sekadar boleh atau tidak boleh, tapi kerangka berpikir yang kita bangun tentang pemahaman pergaulan dalam Islam.

  1. PRINSIP ISTI’DZAN

Syariat Islam sangat menekankan hal ini ISTI’DZAN atau MEMINTA IZIN ini. Bahkan sampai-sampai dicantumkan di dalam Al-Qur’an sendiri. Ini adalah pendahuluan dari adab sopan-santun anak pada orangtua dan orangtua di depan anak. Jadi yang terkena bukan hanya anak tapi juga orangtua.

Dua ayat dalam surat An-Nuur (58 dan 59) menegaskan prinsip Isti’dzan atau meminta izin. Dengan dua ayat tersebut kita mendapati bahwa Islam menunjukkan 2 TAHAP dalam penerapan prinsip pergaulan secara bertahap terutama dalam meminta idzin pada anak.

TAHAP PERTAMA, Islam menoleransi anak yang belum balig, terutama yang mumayiz (pra-pubertas) memasuki kamar orang lain, termasuk kamar kedua orangtuanya, kecuali pada tiga waktu: SEBELUM SHOLAT SUBUH, MELEPAS LELAH SIANG HARI, DAN SETELAH SHALAT ISYA. Pada umumnya pada waktu-waktu ini orangtua membuka auratnya lebih longgar saat berada di ruang privat.

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak yang kalian miliki dan orang-orang belum balig diantara kalian meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari) yaitu sebelum sholat subuh, ketika menanggalkan pakaian (luar) kalian apda tengah hari dan setelah shalat Isya. Tidak ada dosa dan tidak pula ada atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kalian, sebagian kalian memiliki keperluan terhadap sebagian yang lain. Demikian Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nuur: 58).

Inilah yang dikhususkan pada TAHAP PERTAMA, yaitu MEMINTA IZIN pada tiga waktu. Tetapi jika pada waktu lain orangtua MELEPASKAN PAKAIANNYA, maka sudah jelas orangtua harus menutup rapat dan tidak terlihat oleh siapapun, termasuk anaknya.

TAHAP KEDUA, yaitu tahap setelah anak berusia baligh atau pada usia TAKLIF. Dalam hal ini ISTI’DZAN mencakup SELURUH WAKTU berdasarkarn firman Allah swt:

“Dan apabila anak-anak kalian telah mencapai usia baligh maka hendaklah mereka meminta izin sebagamana orang-orang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nuur: 59)

2. Prinsip MEMISAHKAN TEMPAT TIDUR

Turunan dari PRINSIP ISTI’DZAN selanjutnya adalah bahwa ANAK-ANAK WAJIB TERPISAH TEMPAT TIDURNYA atau tepatnya TERPISAH KAMAR dari orangtuanya. Bagaimana mungkin minta izin masuk kamar orangtua jika orangtua sendiri BERSATU kamarnya dengan anak?

Yang jarang difahami adalah bahwa ini juga sebenarnya berlaku saat orangtua masuk ke kamar anaknya yang sudah TAKLIF alias sudah baligh. Suka kah Anda saat anda jadi anak lalu Anda dilihat orangtua Anda yang dalam keadan telanjang? Tentu tidak bukan?  Sangat-sangat tidak nyaman. Karena itu hendaknya juga orangtua membiasakan MEMINTA IZIN atau setidak-tidaknya MENGETUK PINTU kamar Anak dahulu untuk memastikan bahwa anak-anak sudah bersiap dengan pakaiannya.

Inilah bentuk orangtua yang tidak hanya NGATUR-NGATUR anak, tapi juga MEMULIAKAN ANAK ITU SENDIRI. Termasuk memisahkan kamar ini adalah MEMISAHKAN KAMAR ANAK LAKI-LAKI DENGAN KAMAR ANAK PEREMPUAN.

Melalui pemisahan tempat tidur ini, anak-anak jauh dari kamar orangtuanya dan sehingga terhindar dari tempat yang dilakukan aktivitas seksual. Selain itu, pemisahakan kamar anak laki-laki dengan anak perempuan, di mana masing-masing jenis memiliki kamar tersendiri, menghindarkan anak-anak dari sentuhan badan yang dapat menyebabkan rangsangan seksual yang berbahaya.

Metode pemisahan tempat tidur ini juga merupakan metode pendidikan dimana anggota keluarga merasakan apa yang menjadi miliknya dan tanpa bisa menggunakan tanpa izinya. Seharusnya setiap anak memiliki kamar tersendiri dengan berbagai perlengkapannya. Turunan dari ini adalah orangtua sebaiknya tidak ikut campur dalam cara pengaturannya, merapikan peralatannya dan menggunakan barang-barangnya, untuk anak-anak yang sudah TAMYIZ, APALAGI ANAK TAKLIF. (Baca tulisan saya yang lain: mengajarkan konsep kepemilikan)

Tentu saja kita bisa ikut membimbingnya. Tapi saya sudah bilang bahwa MEMBIMBING berbeda dengan MEMERINTAH. Saat membimbing kita mengajak anak berpikir (fandzur), bukan menyuruh anak. Anak diajak DIALOG, bukan MONOLOG. Sehingga anak-anak dilatih untuk menumbuhkan rasa kemandiriannya dan diakui ‘eksistensinya’. Dalam salah satu sesi pelatihan orangtua yagn abah selenggarakan yaitu KARUNIA CINTA REMAJA (KCR) yang ditujukan untuk orangtua yang memiliki anak remaja, saya sering berkata tentang bahwa anak remaja ini menginginkan dua hal dalam hidupnya: IDENTITAS DIRI (INDEPENDENSITAS) DAN KEMANDIRIAN. Dengan memisahkan tempat tidur, secara langsung ingin mengakui hak-hak anak remaja ini, antara lain dalam hal privasi dalam kamarnya sendiri.

3. PRINSIP BATASAN AURAT

Anak-anak yang sudah mencapai usia balig dan mukallaf atau taklif (terkena benan syariat/sudah menanggung pahala dan dosa sendiri) wajib menutup aurat dari padangan anak yang MUMAYIZ, sebagaimana  anak yang sudah baligh juga diharamkan untuk memandang aurat anak yang mumayyiz, apalagi menyentuhnya dengan dorongan syahwat. Apatahal lagi ORANGTUA. Orangtua dengan demikian wajib menjaga auratnya dari anaknya sendiri yang sudah MUMAYIZ DAN MUKALLAF.

Hal ini karena anak yang mumyyiz dapat mengingat dengan baik apa yang dilihatnya. Fukaha pun menegaskan bahwa setiap laki-laki dan perempuan wajib menutup aurat mereka dari padangan orang yang sudah baligh dan dari anak yang mumayiz, yang belum baligh, yakni anak atau remaja yang berada pada suatu tingkatan kecerdasan dan kesadaran tertentu. Ia terpengaruh oleh berbagai hal dan dapat memikirkannya tanpa batasan usia. (Al-Jins fi At Tashawwur al IslamI).

Namun orang yang berusia baligh, boleh memandang dan menyentuh setiap bagian dari tubuh orang yang belum baligh wakapun ia seorang yang mumayyiz, SAAT ADA KEPERLUAN dan asalkan TANPA DORONGAN SYAHWAT, baik terhadap dari jenis kelamin yang sama maupun yang berbeda. Namun, ditoleransi anak yang mumayyiz itu memandang rambut, lengan, betis dan lutut muhrimnya bila tanpa dorongan syahwat. Namun diharamkan memandang bagian tubuh laki-laki yang sudah baligh antar pusar dan lutut (baina syurah warruqbah) baik tanpa dorongan syahwat apalagi dengan dorongan syahwat dan antara lutut dan sampai dada (leher).

Oleh karena itu, sangat jelas, baik orangtua laki-laki maupun orangtua perempuan, juga wajib menjaga auratnya di depan anaknya. Seorang ayah tidak boleh telanjang bulat di depan anaknya dan seorang ibu tidak boleh telanjang bulat di depan anaknya, baik anaknya sesama jenis maupun beda jenis agar tidak menjadi daya tarik bagi anak-anak mumayyiz ini untuk memandang sesuatu yang membahayakan masa depan pendidikan seksnya. Demikian juga sesama anak (yang masih mahram): tidak boleh anak-anak ini menampakkan auratnya baik ke anak laki maupun ke anak perempuan dengan batasan tadi: anak perempuan dari lutut sampai dada sedangkan anak laki-laki antara lutut dan pusar.

Karena itu saya ingin mengingatkan, terutama sebagian ibu yang kadang keluar kamar mandi dengan bertelanjang (meski sambil berlari), atau hanya mengenakan handuk yang menutup pangkal pahal hingga dada, atau saat mencuci menyingsingkan bajunya ke bagian atas hingga ke pangkal paha, padahal di sekitarnya ada anak-anaknya yang sudah mulai beranjak dewasa. Mungin tidak berpengaruh buat Anda tapi belum tentu buat pikiran anak Anda. Karena itu, mari kita hindari hal ini. Ini akan menimbulkan syahwat pada anak-anak kita, merusakkan pikirannya, dan kemudian akan tersimpan dan berimajinasi di dalam pikirannya.

Masalah lain adalah pada masalah pakaian, ajaran islam dalam masalah pakaian yang aman dan sehat tidak hanya ditujukan kepada orang ddwasa untuk mencegah timbulnya angan dan dan membangktikan syahwat pada orang lain, melainkan hal yang sama menuntut agar anak dilatih untuk mengenakan pakaian yang longgar agar di masa mendadatang ia terbiasa dengannya dan untuk melindunginya dari rangsangan-rangsangan  seksual khususnya pada saat nanti ia berusia baligh. Pakaian yang sempit yang menekan tubuhnya secara terus-menerus, akan menyebabkan rangsanan syahwat selama masa kematangan seksualnya, seperti kesukaan pada kebiasaan buruk atau onani.  Tentu saja yang dimaksud pakaian longgar itu tidak selalu didefinsiikan sebagai GAMIS, tetapi yang dimaksud adalah yang benar-benar tidak ketat atau yang tidak menekan tubuh anak. Gamis tapi ketat, artinya juga tidak masuk dalam kategori ini.

4. PRINSIP MENJAUHKAN ANAK DARI AKTIVITAS SOSIAL DAN EROTIS

Adalah penting untuk menjauhkan, anak dari melihat aktivitas seksual diantara suami istri (apalagi bukan suami istri, seperti di film, video, dll) karena bahayanya sangat besar untuk masa depan anak. Karena itu aktivitas seksual diantara orangtua hendaklah dilakukan di dalam tempat yang rahasia dan tersembunyi. Mungkin Anda tidak harus selalu dikamar saat melakukannya, tapi pastikan WAJIB tak terlihat dan tersembunyi dan yang tak mungkin anak tidak mengaksesnya.

Hendaklah kita memperhatikan keadaan perkembangan pikiran anak dan ini sudah jelas sangat mempengaruhi pikirannya. Dari segi ini ada dua hal: ada sebagian ulama yang kemudian mengatakan dimakruhkan anak yang belum mumayyiz melihat kedua orangtuanya dalam hubungan seksual diantara mereka. Kedua, diharamkan anak mumayiz melihat aktivitas ini. Hal ini karena yang pertama belum memahami dengan baik apa yang dilihatnya sedangkan yang kedua sudah mampu memahami apa yang dilihatnya.

Nabi Saw bersabda” Demi Allah yang diriku dalam keadaan kekuasaan-NYA, jika seorang suami menggauli istrinya, sementara di rumah itu ada seorang anak kecil yang terbangun sehingga melihat mereka, serta mendengar ucapan dan hembusan nafas mereka, maka ia tidak akan mendapatkan keuntungan, baik anak itu laki-laki atau perempuan”. (Ath-Thifl Bayna al-wiratsah wa at tarbiyah).

Istid’dzan seperti yang pernah disebutkan saya sebelumnya adalah upaya islam dalam mencegah anak dari peamandangan apapun yang yang dapat membangkitkan hasrat seksualnya serta wahana agar anggota-anggota keluarga dapat mejaga kemuliaannya.

Prinsip istidzan juga dapat menghindarkan anak-anak dari melihat tindakan dan aktivitas seksual orangtuanya termasuk tindakan-tindakan erotis orangtuanya. Tindakan erotis dapat menjadi faktor kuat bagi munculnya penyimpangan seksual bagi anak remaja.

Ciuman diantara suami istri dihadapan anak mumyyiz adalah dilarang. Harus dibedakan antara ciuman untuk menunjukkan sayang dengan ciuman karena birahi. Insya Allah dengan pengalaman masing-masing, kita sebenarnya sangat mudah membedakannya. Mana ciuman yang untuk menunjukkan sayang dan mana ciuman yang membangkitkan syahwat. Mencium pasangan pada kening tentu akan sangat berbeda dampaknya untuk kita dibandingkan menciuam pasangan dibagian bibir misalnya. Karena itu hendaknya harus berhati-hati dengan hal ini.

Soal mencium ini pula yang harus diperhatikan. Islam telah melarang ciuman permpuan dewasa kepada anak laki-laki yang berusia 7 tahun dan laki-laki dwasa tidak boleh mencium anak perempuan yang telah berusia 6 tahun tanpa ada hubungan kekeluargaan di antara keduanya. Rasulullah saw bersabda: Jika anak perempuan telah berusia 6 tahun, anak laki-laki tidak boleh menciumnya. Perempuan dewasa tidak boleh mencium anak laki-laki apabila anak itu telah berusia tujuh tahun (Makarim Al-Akhlaq dan Ath-Thifl Bayna Al-Wiratsah wa At-tarbiyah).

Demikian juga memeluk. Memeluk sebagai tanda sayang dan sekadar mesra sangat berbeda dengan memeluk karena birahi dan dapat membangkitkan syahwat. Jadi, boleh memeluk pasangan di depan anak untuk sekadar sayang, tapi jika sudah membangkitkan syahwat, tidak boleh memeluk di depan anak.

Saya juga ingin mengatakan mungkin terdapat perbedaan antara pendidikan seks dalam pandangan kita sebagai orang Islam dengan pendidikan seks ala barat.
Sex education mulai menjadi perdebatan seru dibarat pada sekitar tahun 1990. Ada yang tidak setuju, ada yang setuju. Dan yang setuju dan dengan bangga mengaku-ngaku masyarakat yang modern. Padahal dalam Islam, sex education bukanlah hal yang baru, Rasulullah SAW telah mengajarkannya dan mencontohkannya kepada kita. Namun tujuan dan caranya berbeda dengan pemikiran barat.

Apakah tujuan sex education itu menurut pandangan barat: Menekankan pentingnya kesetiaan terhadap pasangan. Menghindari kehamilan di usia remaja (maksudnya sex itu boleh aja, tapi jangan sampai hamil atau yang biasa disebutkan KTD: KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN). Agar anak terhindar dari pelecehan seksual. Mampu menghindari hubungan sex jika tidak diinginkan atau sex yang tidak aman.

Jadi kalau tidak ingin berhubungan sex dengan orang itu, jangan segan-segan menolak. Tapi kalau suka sama suka nggak apa-apa, tapi jangan lupa, sex yang aman. ( Yang aman =  jangan sampai hamil, jangan sampai AIDS ). Keuntungan menunda hubungan sex. Maksudnya pas mereka udah siap dan benar-benar menyukai orang itu. Pentingnya sex yang aman: jangan sampai hamil, jangan sampai kena AIDS. Maka, saya pernah lho masuk ke suatu komplek perusahaan internasional, di toilet, ditempat-tempat umum terpampang banyak kampanye berbentuk stiker: MAU AMAN? PAKAILAH KONDOM SEBELUM BERHUBUNGAN SEX. Bahasa pleseetannya: berzinalah dengan kondom. Lah, kalau orang sudah menikah, kenapa tidak disebut aman?

Itulah mengapa sampai sekarang barat tidak pernah mencapai tujuan walau hanya salah satu diantara tujuan tersebut. Bukan hanya tidak mampu mencapai salah satu tujuan tersebut, bahkan lebih parah. Kondisi yang semula ‘hanya’ dalam batas sex bebas, atau hamil di luar nikah, kini makin buruk dengan pelecehan seksual pada anak anak dibawah umur, entah pada anak lelaki atau perempuan, pernikahan homo seksual sudah menjalar kemana-mana dan menjadi trend. Dan pendidikan seks itu ala Barat itu ternyata dikampanyekan juga sampai pelosok Indonesia.

Sedangkan tujuan pendidikan seks dalam Islam adalah untuk menjaga keselamtan dan kehormatan serta kesucian anak-anak kita di tengah tengah masyarakat. Dengan demikian, baik anak laki-laki maupun perempuan akan terjaga akhlak dan agamanya sampai masing masing memasuki jenjang keluarga dengan bersih dan selamat.

Pola pendidikan seksual dalam islam yang praktis di berikan oleh orang tua kepada anaknya tidaklah melalui metode pembahasan lisan yang menghilangkan rasa malu manusia. Metode pendidikan kenabian yang sejalan dengan fitrah manusia yang malu membicarakan hal-hal yang seronok, karena bedampak menggusur secara bertahap kepekaan terhadap nilai-nilai ahlak yang luhur.

 Ini berbeda dengan metode barat yang penuh dengan muatan seronok dalam pendidikan seksual. Karena rangsangan seksual itu tidak memerlukan pembicaraan, Namun timbul karena terlihatnya bagian-bagian yang merangsang dari lawan jenisnya. Karena itulah Islam melakukan pencegahan sedini mungkin agar rangsangan yang bersifat naluriah itu tidak mengakibatkan bahaya bagi anak-anak. (Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari | www.auladi.org)

Referensi: Makarim Al-Akhlaq, Ath-Thifl Bayna Al-Wiratsah wa At-tarbiyah, 50 pedoman mendidik anak menjadi shalih ‘ karya Drs.M. Thalib, Pendidikan Seks untuk Anak dalam Islam.

minat Baru...

Wah...dah lama bgt ga nulis neh.... banyak alesan sih... terutama dirumah tuh suka ga dapet sinyal...hehehe...berasa rumah di uduk2 aja ya... padahal dah tengah kota (klo kt aq sih tgh kota...hehe...). Maklumlah pake-nya yg murah klo ga pake tri ya pake xl...murah meriah... sekarang sih lagi dirumah mam.

Aku lagi punya minat baru...lagi seneng sama dunia PAUD. Secara sekarang Kinay dah gede...dah mo 2 taun, banyak kemajuannya. Aku harus banyak belajar neh. Makanya lagi rajin browsing segala ilmu tentang anak. Klo aku ga bisa apa2...payah bgt ya....Kemaren ikut seminar2 tentang pendidikan anak, rasanya seneng bgt bisa tambah ilmu. Lagi kepengen bgt belajar metode sentra, kayaknya bagus nih. Tapi pelatihannya adanya di Bekasi.. 5 hari, biayanya 850rb!!! 

Pengen bgt...Tapi lagi mikirin cara nyampe kesananya...Karawang-Bekasi....dari jam 8 sampe jam 5....berarti harus berangkat pagi plg mlm dooong.... dah bertaun2 ga pernah naek umum lagi...jadi serem+deg2an belum apa2 juga. Tapi Insya Alloh, Bismillah aja semoga dimudahkan dalam waktu dekat bisa segera ikutan. Amien....

Uhmmm....Ada orang Karawang yg tertarik bwt ikutan pelatihan metode sentra ga ya???