Kamis, 12 April 2012

Mengatasi Intervensi Nenek Kakek dalam Pengasuhan

oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 20 Desember 2011 pukul 7:28 ·
 

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Pendiri Pelatihan Orangtua PSPA | Direktur Auladi Parenting School
Email. inspirasipspa@yahoo.com | www.auladi.org

Pernahkah Anda mengalami kejadian saat Anda melarang nonton televisi, lalu kakeknya membolehkan nonton televisi? Saat Anda sudah berusaha untuk tidak pernah mencubit anak, lalu neneknya melakukannya? Saat Anda berkata tidak, nenek kakeknya bilang ya?

Seperti curhat seorang ayah di Surabaya berikut ini pada saya “Abah, bagaimana memaksimalisasi mendidik anak sementara kakek neneknya sering mengacaukan keteguhan kita saat sedang tetap berkata tidak pada anak? Sebaiknya kami lakukan agar anak tidak ke kiri dan ke kanan semaunya?”

Sebenarnya keberadaan nenek dan kakek dalam kehidupan anak kita sangat berguna untuk hidup anak kita sendiri. Namun,ya inilah tantangannya, saat ada perbedaan antara kita, sebagai orangtua dengan nenek dan kakek dalam pengasuhan anak. Yang positif dari nenek dan kakeknya saya yakin sangat banyak, tapi ini bukan fokus pembicaraan tulisan ini. Yang ingin saya bahas tentang bagaimana jika terjadi perbedaan atau intervensi berlebihan nenek dan kakek dalam pengsuhan anak?

Ketika Anda berumah tangga, sering terjadi masalah karena banyak keluarga muda yang masih tinggal bersama satu atap dengan orangtua. Istilah rumah mertua indah menjadi populer terhadap pasangan yang terpaksa memilih jalan ini. Maka akan ada banyak kebijakan yang mungkin akan diterima anak kita. Ketidakkonsistenan yang diterima anak akhirnya dapat menyebabkan anak bingung dan tidak mempercaya kebenaran itu sendiri. Nilai mana yang akan dia pegang? Orangtuanya atau nenek dan kakeknya? Mana yang benar? Tentu saja ini sangat tidak baik untuk perkembangan mental anak. Ayah bilang tidak, lalu nenek dan kakeknya bilang ya.  Perbedaan suami istri mungkin dapat lebih mudah diatasi, tapi tidak selalu mudah jika berhadapan dengna orangtua Anda sendiri.

Apalagi, jika tipe orangtua kita (nenek dan kakek dari anak-anak kita) termasuk tipe yang tidak mudah diajak komunikasi karena dalam hidup mereka hanya berlaku dua pasal: pasal pertama orangtua tidak pernah salah. Pasal kedua, jika salah lihat pasal pertama (lho?). Maka ini akan lebih sulit lagi.

Maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan bagi Anda yang keluarga muda atau hendak memulai berumah tangga. Pertama, jika Anda berumah tangga, maka Anda harus sudah siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk konsekuensi bahwa jika Anda seorang perempuan, maka Anda sudah siap dengan tempat tinggal yang 'semampu' suami yang mungkin bisa jadi tidak selalu sama nyaman dengan yang pernah Anda dapatkan saat Anda masih single bersama orangtua. Jika Anda laki-laki, kewajiban Anda sebagai seorang laki-laki, seperti tercantum dalam perintah agama, sebagai suami dan ayah dari anak-anak Anda adalah menyediakan tempat tinggal layak keluarga Anda.

Tempat tinggal layak standarnya tentu relatif, tetapi tidak selalu ketika berumah tangga yang dimaksud layak itu harus kemudian langsung memiliki rumah baru. Anda  bisa melakukannya dengan cara ngontrak, menyewa rumah dan lain-lain. Ada sebagian keluarga muda dengan alasan hemat kemudian bertahun-tahun masih menempel rumah orangtua atau mertuanya. Boleh tak setuju, bagi saya laki-laki yang merasa keenakan di rumah mertua adalah laki-laki yang tidak punya ‘izzah’, tidak menjagai harga diri dan kemuliaan sebagai seorang ayah dan suami. Kasarnya, lebih baik ngontrak di kamar 1x1 (ada gitu?) yang sempit tapi kemudian memiliki kelapangan dalam membuat kebijakan keluarga daripada numpang di rumah orangtua (apalagi mertua) yang lapang, hemat, tapi Anda tidak memiliki kesempatan dan kemerdekaan dalam membuat kebijakan rumah tangga.

Ketika Anda sudah berumah tangga dan lalu kemudian kita memutuskan berpisah, maka, bukan hanya soal independensitas dalam mendidik anak, dalam banyak hal anda akan dipaksa untuk belajar lebih mandiri, belajar untuk mengambil keputusan bersama dengan istri atau suami tanpa intervensi berlebihan dari orangtua atau mertua Anda.

Kedua, jika kemudian masih bersama orangtua alasannya adalah orangtua tidak ada yang menjaga dan memelihara karena sudah renta, maka idealnya adalah orangtua sebaiknya tinggal bersama kita. Tinggal bersama kita berbeda paradigmanya jika kita tinggal bersama mereka. Orangtua yang tinggal bersama kita artinya orangtua yang tinggal di rumah kita, diundang tinggal di rumah kita bukan kita yang ‘numpang’ di rumah orangtua kita. Turunan dari ini kemudian adalah bahwa peraturan yang berlaku untuk anak-anak kita adalah peraturan keluarga kita sendiri bukan peraturan nenek dan kakek dari anak-anak kita. Kewenangan-kewenangan ada di rumah kita.

Tapi apapun, apakah mereka tinggal di rumah kita atau kita tinggal di rumah orangtua kita, memuliakan orangtua kita juga adalah kewajiban. Menjaga orangtua dan merawat orangtua kita adalah ladang amal kebaikan yang jangan disia-siakan. Sebab pasti mereka akan berpisah dengan kita dan kita tidak akan selamanya hidup mereka. Jangan sampai kita  menyesal setelah ditinggal mereka karena kita tidak merawat mereka.

Ketiga, lepas dari apakah orangtua kita tinggal di rumah kita atau kita yang tinggal di rumah orangtua atau mertua kita. Maka komunikasi terbuka dari hati ke hati dengan orangtua adalah kewajiban yang tetap perlu dilakukan sebagai 'muqoddimah' kita meminta izin mereka untuk dapat membuat kebijakan untuk anak-anak kita yang mungkin berbeda dengan kebijakan orangtua kita memperlakukan kita saat kita kecil dulu.

Komunikasilah dengan orangtua Anda dari hati ke hati, bahwa soal anak kita, minta agar mereka memberi kesempatan pada kita untuk memperlakukan anak-anak kita sesuai dengan 'jalan' kita sendiri. Kita tetap akan menghormati mereka, tetapi soal anak ini, keputusan ada di tangah orangtuanya, bukan pada kakek neneknya..

“Ayah Ibu,
sekarang kami sudah memiliki keluarga sendiri.
Kami (suami istri) tengah belajar berumah tangga Ayah Ibu...
Ketika kami berumah tangga, bisa jadi kami akan memiliki aturan berbeda
dengan aturan yang Ayah Ibu terapkan dulu.

Bukan berarti kami lebih baik dari ayah dan ibu,
Tapi karena memang perbedaan waktu dan keinginan kami sendiri
yang bisa jadi membuat perbedaan itu
pasanganku bisa jadi dididik dengan cara berbeda
dengan keluarga Ayah Ibu dulu
karena itu kami harus menyatukan pandangan kami bersama

Beberapa hal mungkin akan berbeda
Tetapi yakinlah kebaikan-kebaikan yang Ayah Ibu tanamkan pada kami
Akan tetap tertanam dalam kehidupan kami
Ini hanya perbedaan metode dan cara
Memperlakukan anak-anak kami

Kami mohon,
Ayah Ibu dapat memahami ini
Karena itu, setiap ada kebijakan untuk anak-anak kami
Kami akan mengkomunikasannya pada Ayah dan Ibu
Tentang apa yang dibebaskan dan apa batasan-batasannya
Tetang apa yang diberbolehkan apa yang dilarang.”

Thats just a bit sample ok? Intinya adalah keterbukaan kita meminta izin pada orangtua untuk menerapkan “SOP-SOP” yang mungkin berbeda pada anak dengan apa yang orangtua kita lakukan dulu pada kita saat jadi anak.

Dan kenyataannya, hanya sedikit orangtua kita yang sulit diajak komunikasi. Kebanyakan nenek dan kakek dari anak-anak kita sebenarnya mau menerima jika mau terbuka dengan jujur meminta izin sama mereka tanpa harus mencerahami atau menggurui mereka berlebihan. Yakinlah hampir semua orangtua menyayangi anak dan cucunya, ini menjadi modal keyakinan kita untuk dapat meyakinkan orangtua kita memberi dukungan terhadap cucu-cucunya.

Sebagian besar nenek dan kakek akan menyayangi cucunya, hanya saja sebagian orangtua tidak mengkomunikasan pada nenek dan kakek dari anak-anak kita tersebut tentang apa saja batasan-batasannya secara detail. Orangtua melarang anaknya membeli jajanan manis berlebihan seperti permen, coklat sementara nenek dan kakeknya membolehkan. Orangtua melarang anaknya membeli jajanan tak sehat yang lewat di depan rumah, sementara nenek dan kakeknya membolehkan.

Nah jika ada SOP-SOP yang ingin nenek dan kakek dari anak-anak kita juga menerapkannya, komunikasikan secara jelas dan detail kepada mereka tentang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Jelakan argumen-argumennya, bahwa kita tidak melarang anak kita jajan atau membeli makanan tapi ada batasan-batasannya. Jelaskan bahwa nenek dan kakek boleh mengajak anak membeli mainan, tapi ada batasannya.

Keempat, sebagian kecil pada kenyataannya memang ada yang sulit diajak bicara karena merasa paling benar dengan alasan “Kamu tahu apa mendidik anak? Ayah ibu lebih tahu dari kamu. Kami ini sudah berpengalaman anak puluhan tahun. Kalian baru ikut kelas parenting beberapa kali saja, jangan kalian anggap kalian lebih tahu dari kami!” Haduh! Sudah tak bisa berkutik deh kalau nenek dan kakek dari anak-anak kita sudah ngomong kalimat semacam ini.

Tenang, solusi kuncinya adalah ada pada diri kita sendiri bukan orangtua Anda. BUAT ANAK LEBIH PERCAYA PADA DIRI KITA dibandingkan siapapun, bahkan pada nenek an kakeknya sekalipun, jika nenek dan kakeknya belum dapat diajak kerjasama untuk melakukan batasan-batasan ini.

Jika sudah dipercaya anak, meski kakek neneknya bilang tidak, maka anak akan selalu mengkonfirmasinya pada kita. Meski ada nenek kakeknya, klo anak lebih percaya sama orangtua, pasti dia akan lebih 'mendengar perkataan2 orangtua dibandingkan kakek neneknya, bukan begitu? :) Jika orangtua ke kanan pasti ke kanan, tapi klo kata orangtua ke kanan sementara kakeknya minta ke kiri, berarti anak masih belum percaya pada kita sebagai orangtuanya.

Ketika keempat anak saya ikut pulang mudik bersama orangtuanya ke rumah nenek dan kakeknya mereka akan tetap memegang teguh batasan-batasan yang sudah kita berikan, meski di rumah orang lain, meski di rumah nenek dan kakeknya yang sebenarnya juga bukan orang lain. Suatu saat neneknya berkata pada kami saat kami baru tiba stelah meninggalkan anak-anaknya di rumah nenek “De’e diwenehi mut-mutan kok, ora gelem? Jarene ‘kata Umi, itu nggak boleh?’ kok isoooo? Mergo piye?, dia (anak kami) kok ditawarin permen kok gak mau? Katanya, kata Umi, itu nggak boleh? Kok bisa? Memangnya kenapa?'

Jadi meski Neneknya nawar-nawarin yang dilarang oleh kita, karena anak-anak ini sudah percaya sama orangtuanya, ya mereka tidak akan melakukannya meski orangtua tidak ada disamping mereka sekalipun.

Pertanyaannya, bagaimana agar lebih dipercaya oleh anak kita agar anak kita lebih nurut sama kita dibandingkan sama siapapun?

Bangun kedekatan secara emosional dengan anak. Ada banyak orangtua yang dekat dan ketemu secara fisik dengan anak tapi tak menghasilkan apapun. Bagaimana membangun kedekatan secara emosional dg anak? Setiap hari sediakan waktu dong utk bicara dengan anak, bukan hanya bicara kepada anak. Setiap hari sediakan waktu untuk melakukan kegiatan positif dengan anak: main boneka bareng, main bola bareng, bercerita, mewarnai, ngacak-ngacak rumah bareng dan seterusnya.

Lalu jangan pernah berbohong pada anak dan ingkar janji satu kalipun pada anak sekalipun. Kata siapa berbohong dan inkar janji pada anak itu tidak dosa? Ulama mana yang memberi fatwa berbohong pada anak itu boleh? Meski mungkin Anda ngomong “Tapi kan tujuan bohongnya baik?”

Misalnya: anda bilang yuk besok beli kue, ternyata besoknya tidak beli kue. Maka itu termasuk inkar janji. Juga termasuk bohong saat Anda minta anak anda tidur dengan menakutinya “nanti klo tidak masuk rumah, di luar ada hantu!” Maka saat Anda tidak melakukannya anak tidak akan pernah mudah memercayai orangtua kembali. Demikian juga saat anak tidak menemukan hantu tersebut, maka orangtua tidak akan mudah dipercaya anak lagi.

Memang hampir semua agama mengenal yang namanya “white lie” tetapi tetap saja pasti konteksnay sangat terbatas tidak pada semua perbuatan dibolehkan bohong. Misalnya menyelematkan nyawa, menyambungkan yang berselisih adalah beberapa contoh diantaranya yang diperbolehkan. Tapi sekalig lagi ini konteksnya sangat terbatas dan tidak pada semua perbuatan. Ketika Anda berbohong pada anak, sejak saat itulah perkataan Anda tidak akan pernah dipercaya anak kembali dengan mudah. Ketika Anda bilang Tidak lalu anak nangis jadi ya sejak saat itulah anak juga tidak akan mudah percaya lagi dengan Anda.

Selanjutnya adalah bertindak konsisten. Sekali Anda menolak permintaan anak “tidak”, seterusnya harus tidak, meski anak menangis, meski anak guling2.. dll. Turunan dari konsisten berarti setiap batasan haruslah punya konsekuensinya. Misalnya tentang makanan yang boleh dan tidak boleh.

Masalahnya adalah saat anak di depan kita mungkin mudah untuk konsisten dan memberikan konsekuensi tapi saat di depan nenek dan kakeknya, konsekuensi dalam rangka konsisten itu kemudian susah diterapkan karena seringkali dibatalkan oleh nekek dan kakeknya anak-anak.

Untuk mengatasi ini caranya buat konsekuensi tertunda. Misalnya saat anak sudah bersepakat dengan kita ketika sakit gigi tidak boleh makan permen. Lalu di rumah nenek dan kakeknya makan permen, maka kita bisa bilang pada anak. “Kamu sudah melanggar batasan yang kita sudah buat, karena kamu sudah melanggar, kamu akan mendapatkan konsekuensi dari ayah ibu yang tertunda. Konsekuensi itu akan kamu dapatkan saat kamu nanti sudah kembali ke rumah”. Konsekuensi ini bisa berupa dicabut hak-haknya (nonton tv, uang saku, main ke luar rumah) untuk sementara waktu atau konsekuensi lain yang bermakna yang intinya membuat anak rugi.

Kelima, biasakan pula jika orangtua kita pun sering-sering diajak tholabul ilmi atau mencari ilmu, belajar bersama. Bisa mendatangi pengajian-pengajian terlebih dahulu sebagai awalan. Jika orangtua sudah sering diajak ke majlis ilmu bersama, maka setelah itu sesekali ajak mereka untuk mendatangi majlis parenting atau pengasuhan anak. Jika orangtua sudah mau diajak ikut ta’lim insya Allah mereka akan mudah mengikuti kelas parenting yang kita tawarkan kepada mereka. Dengan mengikuti kelas parenting seperti yang saya selenggarakan insya Allah ini sangat membantu dan membuka paradgima mereka lebih baik, meski katakanlah mereka pun sudah baik mendidik kita waktu sebelumnya.

Itu sebabnya bisa jadi kenapa banyak nenek dan kaken hadir dalam kelas-kelas pelatihan orangtua yang saya selenggarakan. Sebagian besar mereka begitu rendah hati untuk kemudian belajar dan menghadiri kelas saya anak kemarin sore ini. Saya selalu interest jika ada orangtua sepuh datang ke kelas pelatihan saya. Karena itu saya sering bertanya mengapa mereka begitu rendah hati untuk datang belajar. Apa jawaban sebagian mereka? "Kami menyayangi cucu kami, kami kan lebih banyak dengan cucu kami dibandingkan dengan orangtuanya. Kalau nenek kakeknya gak shalih, kan kasihan cucu kami". wehh... keren kan? **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar